Senin, 25 Februari 2008


KUMTUA ANTARA PRESTISE DAN GENGSI

Keberagaman kultur budaya etnis di tanah air merupakan kekayaan identitas yang harus terus dijaga dan dilestarikan. Mulai dari Sabang sampai Merauke kita jumpai beragam kebudayaan tradisional yang unik. Oleh karenanya budaya mencerminkan bangsa. Hal ini sangat berdampak positif bagi sistim sosial masyarakat sendiri, keanekaragaman budaya bangsa, juga dunia pariwisata.

Salah satu daerah ditanah air yag memiliki beragam budaya adalah Minahasa kususnya Minahasa Selatan. Umumunya kalau mendengar Minahasa pasti orang langsung ingat akan pesona kawasan wisata laut, danau tondano, makanan khasnya, tarian maengket, cakalele,kabasaran dan perilaku orang Minahasa Selatan yang cenderung terbuka.

Dari segi pekerjaan masyarakat Minahasa Selatan adalah tukang kayu, pandai besi, sebagian kecil nelayan, pedagang dan mayoritas petani seperti juga masyarakat lainya di tanah air. Sebagai petani ada yang hanya petani penggarap ada pula sebagai petani pemilik lahan pertanian. Kehidupan masyarakat Minahasa Selatan sangat dinamis dan harmonis. Perbedaan status social baik sebagai petani besar,petani penggarap, aparat, tokoh masyarakat, nelayan, tukang maupun guru atau pegawai lainya rasanya tidak nampak terlihat dalam hal berinteraksi social . Mereka saling membaur satu sama lain . Seorang tokoh masyarakat bisa lebih duluh menyapa sekumpulan anak muda yang lagi nongkrong, baik orang tua dan yang muda saling menyapa apabila berpapasan di jalan. Gotong royong seperti kerja bakti di desa, acara duka wajib dilakukan semua anggota masyrakat .

Dalam masyarakat Minahasa Selatan status social bukanlah sesuatu yang harus di ‘hormati atau dijunjung tinggi’. Artinya cara orang Minahasa Selatan menggangap status seseorang tinggi apabila orang tersebut mampu beradaptasi secara langsung dengan semua lapisan masyarakat dan memiliki ‘jiwa social’. Dan mereka mengimplementasikan rasa hormat sebagai contoh memilih/menjadikan orang yang di anggap ini menjadi tokoh masyarakat, aparat desa atau ketua organisasi agama ,partai politik,organisasi sosial dan sebagainya.

Umumnya di Minahasa Selatan pandangan akan status social meningkat bukan hanya karena latar belakang keluarga atau lainya tapi status social meningkat oleh usaha dan kerja keras(achievement status). Sebagian besar keluarga di Minahasa Selatan menginginkan anggota keluarganya kelak bisa memangku jabatanjabatan di desa maupun organisasi agama . Banyak masyarakat yang tadinya hanya petani penggarap tapi karena kerja kerasnya sehingga meningkat perekonomiannya dan oleh masyarakat dipilih menjadi Kumtua(hukum tua/kepala desa). Hal ini otomatis statusnya meningkat. . Baik anggota masyarakat yang penduduk asli ataupun pendatang seperti dari Sangihetalaut, Jawa, Bolangmongondow dan dari daerah lain sangat terbuka kemungkinan untuk meningkat status socialnya. Bagi masyarakat Minahasa Selatan, pemberian diri dalam jabatan merupakan suatu kehormatan.

Mobilitas social di masyarakat Minahasa Selatan sangat dinamis, seseorang yang tadinya hanya buruh tani dan kemudian meningkat menjadi petani besar berpeluang untuk dipilih oleh masyarakat menjadi Kumtua atau menjadi perangkat desa. Karena faktor kekayaan, pendidikan dan ekonomi merupakan factor pendukung bagi peningkatan status social dan diimplementasikan pada pemilihan Kumtua , tokoh agama dan tokoh masyarakat lainya.

Dengan demikian dimasyarakat Minahasa Selatan memiliki sifat stratifikasi terbuka artinya siapapun anggota masyarakat baik penduduk asli maupun pendatang bisa meraih jabatan jabatan di dalam desanya atau menjadi contoh bagi masyakat lainya oleh karena keberhasilanya dalam bidang ekonomi, pertanian, tukang, pegawai, pedagang atau aparatur desa.

Dari segi dimensi stratifikasi social maka masyarakat Minahasa Selatan cenderung menonjol menggunakan dimensi privilege. Mereka ‘menilai’ seseorang untuk di jadikan Kumtua,aparat desa,pemimpin organisasi social,pemimpin parpol dan tokoh masyarakat lainya dengan kekayaannya. Dan pada ahirnya prestise dan power merupakan motivasi bagi masyarakat Minahsa Selatan untuk diraih dengan berkompetisi secara sehat dalam hal bermasyarakat

Dengan demikian potensi terjadinya kesenjangan social tidak nampak antara yang memiliki status social tinggi maupun rendah oleh karena masing masing anggota masyarakat memiliki peluang atau cara masing masing untuk meningkatkan statusnya atau malah turun statusnya tergantung dari anggota masyarakat Minahasa Selatan itu sendiri.


Selasa, 05 Februari 2008

Lestarikan(Budaya) Minum Captikus


“Sebuah Kutukan Nenek Moyang Minahasa”

Captikus adalah peninggalan nenek moyang Minahasa yang konon di artikan sebagai Budaya sehat serta pegaulan jaman dulu.Nama captikus dipakai untuk mendasari ukuran sebuah arti dan cara orang Minahasa jaman dulu untuk menggunakannya harus dengan takaran cangkir kecil(sloki,grem).Sehingga masyarakat Minahasa dulu sangat memaklumi dan bahkan hampir semua orang tua meminum arak ini sekeder menghangatkan tubuh dari kedinginan dan kelelahan sehabis bekerja. Lama kelamaan captikus dipakai pada acara kemasyarakatan(pesta nikah,duka,pertemuan-pertemuan desa dan untuk menyajikan bagi tamu dari luar kampung ). Waktu itu semua tahu captikus adalah budaya yang patut dipelihara oleh karena baik untuk kesehatan juga dalam bemasyarakat.

Tapi sekarang captikus bukan lagi budaya yang dipakai atau di minun sebagai obat penghangat,obat penghilang rasa lelah,penghilang rasa malu akan tetapi bergeser pemanfaatanya sebagai pemicu keonaran,merusak mental para pemakai,merusak hati/tubuh dan bahkan menjadikan masyarakat terlibat konflik ekonomi keluarga. Bukankah ini sama saja dengan mengkonsumsi narkotika?

Permasalahan captikus sudah pada tahap sangat memprihatinkan. Memang terjadi dilema pada tataran ekonomi rakyat kusus produsen captikus,penjual dan pengedar yang sebetulnya hanya sementara apabila budaya minum ini dapat dicarikan jalan keluar sehingga bukan justru hanya mengancam SDM dan peningkatan ekonomi kusus di masyarakat Minahasa sendiri akan tetapi justru yang lebih penting kedepan kualitas SDM orang Minahasa akan kembali berjaya seperti dulu sehingga otomatis terjadi keseimbagan pola hidup yang serta merta kesejahteraan ekonomi dapat teratasi.

Permasalahan Sosial kemasyarakatan di masyarakat Minahasa ini satu hal mendasar yang harus di cermati dan terus disikapi,dievaluasi baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat sendiri.

Pola hidup sekelompok masyarakat dapat menjadikan cerminan bagaimana kedepan yang akan terjadi baik di lingkungan maupun dalam diri anggota masyarakat tersebut.

Budaya memang perlu. Akan tetapi seringkali terjadi pergeseran penafsiran budaya bagi masyarakat yang cenderung membiarkan malah mengadopsi pola hidup/budaya yang justru sedang mengancam kelangsungan tatanan budaya asli masyarakat setempat menuju pada jurang kehancuran mental spiritual sehingga berakibat pada lemahnya sumber daya manusia bahkan sumber daya alam rusak/tergali percuma tanpa arti bagi kepentingan masyarakat itu sendiri.

Bagaimana mungkin akan terwujud cita-cita Sulawesi Utara sebagai daerah tujuan wisata seperti Bali kalau masyarakatnya terus membiarkan pergeseran budaya minum captikus terus menerus terjadi?

Kasus budaya minum captikus seharusnya dikembalikan artinya lagi pada kultur yang sudah berlaku lama pada nenek moyang Minahasa . Minum captikus jangan dilarang akan tetapi bagi mereka pemakai captikus hendaknya memotivasi diri kembali pada aturan dan nilai nilai budaya nenek moyang Minahasa.

Minum captikus sebetulnya adalah sebuah karya budaya yang diwariskan nenek moyang Minahasa, apa bedanya dengan budaya minum Sake di Jepang?apa bedannya minum Wisky di Eropa? Ini semua adalah budaya bukan? Hanya saja di Eropa dan Sake di Jepang betul-betul di manfaatkan sebagaimana mestinya. Sake di gunakan apabila ada perayaan wisuda,menjamu tamu sebagai rasa hormat orang Jepang,sukses dalam bisnis lalu minum Sake bersama.Kita di Minahasa? Apa demikian?Hehe..boro boro, justru kalau ada masalah larilah kita ke Captikus kemudian bikin onar warga sekampung.

Namun kenapa justru masyarakat Minahasa justru tidak melestarikan nilai nilai budaya ini ?

Dimanakah budayawan-budayawati (tou)Minahasa kini?jangan terlalu lama kita memandang eksotisme budaya lain!.Jangan terlalu lama kita merenungi budaya kita sendiri!

Kita yakin bersama kedepan Minahasa akan keluar dari “kutukan” yang telah berlangsung sekian lama hanya karena tidak mengindahkan kultur budaya nenek moyang yang kaya nilai religi dan spiritualitas.

Permasalahannya memang bukan saja pada Captikus, tapi masih banyak lagi karya luhur nenek moyang Minahasa yang sudah dirusak oleh kita sendiri maupun oleh bencana alam dan bencana moral akibat ulah kita juga.

Rabu, 23 Januari 2008

Lintas Minahasa Selatan


Minahasa Selatan atau disingkat MINSEL merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi Utara pada tahun 2003.

Seiring dengan nuansa reformasi dan Otonomi Daerah, maka telah dilakukan pemekaran wilayah dengan terbentuknya Provinsi Gorontalo sebagai hasil pemekaran dari Provinsi [Sulawesi Utara malalui Undang-Undang No. 38 Tahun 2000. Pada tahun 2002 dan 2003 Provinsi Sulawesi Utara ketambahan Kabupaten Talaud berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2002 yang merupakan hasil pemekaran Kabupaten Sangihe dan Talaud serta Kabupaten Minahasa Selatan dan Kota Tomohon berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2003 serta berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2003 terbentuk juga Kabupaten Minahasa Utara. Ketiga daerah tersebut adalah hasil pemekaran Kabupaten Minahasa. Akibat adanya pemekaran Provinsi Gorontalo ketambahan Kabupaten dan Kota, maka Provinsi Sulawesi Utara menjadi delapan wilayah administrasi Kabupaten/Kota, masing-masing :

  • Kabupaten Bolaang Mongondow
  • Kabupaten Minahasa
  • Kabupaten Sangihe
  • Kabupaten Talaud
  • Kabupaten Minahasa Selatan
  • Kabupaten Minahasa Utara
  • Kota Manado
  • Kota Bitung
  • Kota Tomohon
Pemekaran Minahasa Selatan bukan bertujuan memecah belah daerah Minahasa, tetapi sebagai wujud dari komitmen untuk membangun daerah Minahasa khususnya Minahasa Selatan dalam upaya mensejahterahkan rakyat.